27.08.2006
Seorang pelukis mengandung
dan melahirkan lukisan secara
teratur demi kehidupan anak-anak
perasaan yang selalu dirawatnya
dalam buaian warna.
Ketika senang, dilahirkanlah
anak-anak senyum dan tawa,
lalu mereka pun berlompatan
riang gembira memenuhi kanvas;
menciptakan sebuah tamanwarna
yang tak terlukiskan.
Di waktu sedih, berbuncah-buncah
anak duka dan airmata berangkat
meratap pada kanvas, bercampur
warna sendu; menciptakan
hutanwarna yang tak tertahankan.
Semakin hari, dia menjadi
mengerti bagaimana menjadi
iburasa dan ibukata yang baik.
Malah sudah dapat ia ciptakan
lanskap di mana hatinya
tercenung lama di sana.
Ah.. Dimana jagoan kecilku?
Pelukis mencari kuasnya:
teman menjelajah putih kanvas
yang luasnya tak terselesaikan.
Dia teringat kalau kemarin
ditorehnya lukisan malam dengan
rembulan, dan dibubuhkannya
sebuah pondok tua dari magenta.
Kuas tiba-tiba terkekeh:
Tempat kencanmu dulu, ya?
Lalu kuas ingin mampir di sana
sebentar untuk minum teh
sambil bercanda dengan bulan.
Pelukis sendirian sekarang,
menunggu kuas sedang berlibur.
Ditubruknya sesendok teh,
dinikmati dengan pemandangan
di sekitarnya yang melulu
hanya lukisan diorama lanskap.
Teh hangat: coklat keemasan.
Dia melihat sinar purnama
seperti di lukisan malam
memantul ke permukaan.
Kemudian lirih terdengar
bisikan kuas:
Mari kita minum sama-sama,
dan menginaplah di sini:
semalam bersama purnama.