Thursday
Kenangan Payung
10.11.2006


Di bawah payung, ia teringat akan
pengalamannya ke negeri puisi.
Waktu itu ia pernah diundang oleh
presiden negeri itu untuk peresmian
musim hujan yang akhirnya tercipta.

Setelah menandatangani Piagam Musim
Hujan, bapak presiden tiba-tiba
membujuknya untuk tinggal beberapa
bulan di sana. Sebab ini musim hujan
pertama dan belum ada yang mengerti
bagaimana cara membuat payung.

Maka dengan berbagai jenis pena dan
kertas, dibuatlah payung warna-warni
bagi penduduk negeri puisi sehingga
mereka tak perlu cemas dengan hujan.

Lama menjadi pengrajin payung,
pekerjaan selesai juga akhirnya.
Sebelum pulang, bapak presiden
mewakili seluruh warga tak lupa
mengucapkan terima kasih dan
memberinya upah sesuai perjanjian,
juga sebuah payung antik peninggalan
penyair budiman yang telah berjasa
menciptakan negeri puisi.

"Selamat jalan, pak. Jangan lupa
mampir lagi kapan-kapan untuk
mereparasi payung-payung supaya
makin canggih modelnya."

Di bawah payung ia bingung:
rambut masih juga kuyup oleh
hujan kemarin.

Sambil ia genggam uang puisi
dari negeri puisi, gerimis turun
rintik-rintik dan payung rombeng
itu tak mampu menahannya.
 
Steven menulis pada 19:46 | buka halaman | 0 komentar
Lukisan Puisi
09.11.2006


Sejak tersesat di dunia kanvas,
penyair itu jadi belajar rupa
warna warni dan warna hati.

Seperti dahulu ketika digoda
kata-kata, dia mulai mengenali
dan mempelajari warna: supaya
tak lupa warna dan buta warna.

Puisi kadang-kadang jadi ingin
sekali dilukis, katanya.
Penyair jadi berpikir lama:
pakai kertas atau pakai kanvas?
 
Steven menulis pada 09:09 | buka halaman | 0 komentar
Tuesday
Penyair Terlucu
06.11.2006


Entah sejak kapan ia dibaca puisi.
Hidupnya sekarang berubah berantakan
dan perasaan makin tidak akur.

Setiap kali ia ingin mandi atau tidur,
selalu muncul perasaan seperti sedang
dimata-matai: rahasianya terbaca-baca
dan privasi jadi makin molorot rasanya.

Setelah sudah semakin tertekan,
ia memilih ingin nonton televisi saja
untuk menenangkan diri. Barangkali
bisa berlucu-lucu atau kalau boleh
yang blo'on kayak Teletubies.

Habis gonta-ganti saluran, oh ya,
lupa kalau hari ini ada acara final
penghargaan bagi penyair paling lucu.

Sebab kata pemenang penghargaan,
dirinya tak suka jika harus sampai
masuk tivi: agak sensitif soal privasi,
maka hanya ditampilkan saja
beberapa videonya yang nyeleneh.

Pria itu terbahak-bahak melihat
cuplikan kehidupan sehari-hari
penyair terlucu itu yang mirip dia.
 
Steven menulis pada 08:05 | buka halaman | 0 komentar
Sunday
Kenangan Hujan
05.11.12


Bulan November, hujan bertambah subur saja.

Padahal hanya sedikit membayangkan kekasih
yang manis cintanya: hati semakin mesra.

Tiba-tiba terlintas, ada yang tak tergapai.
 
Steven menulis pada 19:09 | buka halaman | 0 komentar
Kesenangan Sederhana
05.11.2006


ngupil
 
Steven menulis pada 11:08 | buka halaman | 2 komentar
Saturday
Kenangan Busstop
04.11.2006


Menunggu bus memang cerita membosankan
yang harus tekun dilakoni setiap pagi.

Kadang-kadang bisa kesal sendiri kalau
supir bus sudah mulai terlambat;
semalam katanya habis memimpikan kekasih
yang mesra menggodanya di dunia mimpi.

Mengira dirinya telah dikerjai supir,
diam-diam salah seorang pelanggannya pun
menaruh dendam untuk balas mengerjai.
Eh, dia jadi suka bersembunyi setiap kali
melihat bus lewat di depan busstop.
"Biar supir bus itu mampus kebingungan!"

Entah sekarang siapa yang lebih lucu.
Malam itu ia hanya butuh sebuah bus yang
bisa mengantarnya sampai ke rumah dengan
nyaman ketika coklat di atas meja masih
terkepul hangat dan sebuah buku puisi
romantis tersedia disampingnya.
Memang belum pernah seperti ini: bus
ditunggu begitu lama dengan segenap hati.

Di busstop tua tiba-tiba seorang kakek
menghampirinya dengan wajah tersenyum.
Sambil terharu, pria itu teringat akan
masa kecilnya: kakek itu dulu supir bus
yang rajin mengantarnya ke sekolah
pagi-pagi sekali sambil memakai piyama.

Setelah ngobrol lama, kakek baru bilang
kalau busstop ini palsu, sengaja ia bangun
di dekat rumahnya untuk kenang-kenangan.

Pria itu mendadak merasa nelangsa sebab
ia tidak bisa tidak pulang malam itu.
Si kakek tertawa. Akhirnya ia pulang
dengan jalan kaki, sambil ia maki: Sialan!
 
Steven menulis pada 11:52 | buka halaman | 1 komentar