Friday
Bermain Sketsa #04
Golgota
Inez Dikara ternyata diam-diam ikutan arisan bersama Benz ketika rumahnya habis diobrak-abrik penjahat. Saya diam-diam tergoda untuk main juga. Kali ini hidangan disajikan oleh Benz, si tuan rumah. Inilah dia: lampion, sumpit, totem, kapal, gaun, bukit, karang, tenda, tongkat dan bendera. Aku mencatat perundingan mereka:


Golgota

berapakah luka telah bertemu
dan berapa yang masih mencari
ketika lampion tengah menyala
di tanganmu (tuas ruas meredup
perlahan oleh cahaya airmata)

o betapa karang perjalanan,
tanpa tongkat dan tenda bagi
penuh peluh yang kekal pada
tubuhmu, bagi pikiranmu yang
mengingkar ingat setiap langkah

hanya dengan selembar kertas:
peta buta yang sudah kaulipat
menjadi kapal dan semoga saja
menghibur segala bingungmu di
gelap malam yang serba lengkap

jauh menempuh, lelah yang telah
menghentikanmu di atas sebuah bukit
dan kaulihat berdiri totem seorang
manusia dengan luka sumpit yang
berdarah ruah tepat pada lambungnya

kemudian kautancapkan benderamu,
di dekat kakinya engkau bersandar
sambil merebut gaunnya yang putih
dan nyaris habis untuk berselimut
hingga engkau hangat tertidur pulas

tatkala malam kedinginan menatapmu


28 November 2008

Labels:

 
Steven menulis pada 00:07 | buka halaman | 2 komentar
Bermain Sketsa #03
Sediam Suara
Aku dan Dedy Tri Riyadi telah berbincang-bincang. Dia menyerukan: lidah, tua, marah, luka dan pisau. Aku bilang: tali, suara, bunga, ransel dan kartu. Inilah hasil perbincangan itu menurutku:


Sediam Suara

malam semakin langit ketika kembali
kita telusuri stasiun ini (suara-suara
langkah terapung kepada udara) dan
kereta pun tegak tegar menyaksikan
segala bunga yang bergugur bentur

betapakah lidah tak juga mengucapkan
perpisahan; kami melupakan segala
pertemuan dan tua ingatan tentang
tali pengikat atau kilau pisau yang
memutuskan cakap percakapan

sebab kenangan sudahlah seperti
ransel kecil yang tertinggal di stasiun
karena tak sanggup engkau membawanya
dan tak ada pula yang perduli untuk
merampasnya pulang ke sebuah rumah

tanpa marah, tanpa haru engkau tatap
kartu perjalanan yang akan mengantarmu
menggapai berbagai pertemuan lainnya,
berbagai rupa luka dan membawa perih
kembali berlari: menjadi terdiam sepenuhnya


21 November 2008

Labels:

 
Steven menulis pada 23:23 | buka halaman | 0 komentar
Sinterklas
Dalam kisah mengulang
aku pun cemas menanti.
Mengapa belum juga tiba

kematianmu?


21 November 2008
 
Steven menulis pada 21:31 | buka halaman | 2 komentar
Wednesday
Bermain Sketsa #02
Tiket Pertunjukan Sirkus
Hasan Aspahani melempar 10 kata yang harus dimuat dalam sebuah puisi. Mereka adalah: misteri, mahkamah, darah, tambang, sirkus, kepiting, tembok, formulir, semangka dan tentara. Silakan disimak. Hehehe.


Tiket Pertunjukan Sirkus

Di zaman yang tak makin aman ini
aku ditantangan berbagai undangan,
salah satunya yang paling menggoda
adalah perlombaan makan semangka
dengan hadiah utama dua buah tiket
pertunjukan sirkus ternama.

Tanpa diduga ternyata tawaran ini
berhasil memikat banyak peserta,
dari pelajar sampai tentara,
semua bergegas tak mau kalah hingga
aku terancam kehabisan formulir.

Pertunjukan itu memang banyak diminati
karena atraksinya yang berbahaya seperti
duel harimau dengan penyairnya dan juga
pertandingan sepakbola antar malaikat.

Tak terasa, perlombaan pun berlangsung
secara singkat karena banyak yang gugur
mengundurkan diri. Sang pelajar teringat
biakan semangka dekat tembok belakang
rumahnya yang berhari-hari lupa disiram
hingga harus segera pulang ke rumah.

Ketika melihat merah semangka, si tentara
pun jadi teringat kawannya yang tewas karena
kehabisan darah di medan peperangan.
Ia menjadi sedih dan rindu hingga juga harus
pamit untuk menjenguk kuburan sahabatnya.

Entah untung atau buntung, akulah yang keluar
sebagai pemenang dan tentu saja memperoleh
hadiah utamanya, ketika tampaknya pertunjukkan
sirkus akan dibatalkan karena dianggap kurang
manusiawi dan meninggalkan banyak misteri.

Pengelola sirkus itu telah diseret ke mahkamah
dan di jatuhkan hukuman seberatnya. Namun,
berkat pengacara yang handal, pengusaha itu
berhasil lolos dari ancaman tambang dan sebagai
gantinya ia harus menjadi penjaga kebun seumur
hidup di lahan semangka milik sekolahnya dulu
dekat sebuah kuburan pahlawan revolusi.

Sebagai permintaan maaf, sirkus itu
hanya bisa membayar penggemarnya dengan
binatang-binatang peliharaan mereka.
Hari yang kutunggu akhirnya tiba juga
ketika paket dari sirkus pun kuterima.
Di sudutnya bertuliskan: kami hanturkan
segala maaf, semoga ganti rugi ini tidak
membuat anda semakin rugi.

Kurang ajar sekali kupikir sambil
segera kubuka kemasannya.
Siapa sangka isinya cuma kepiting yang
dari cara melangkahnya ternyata adalah
binatang paling arif di antara semua binatang.


20 November 2008

Labels:

 
Steven menulis pada 23:29 | buka halaman | 0 komentar
Sunday
Bermain Sketsa #01
Badai Mimpi
Kemarin rasanya suntuk sekali. Lalu terinspirasi oleh tingkah guru-guru, kami akhirnya aku dan Benz ingin juga bermain kata. Kami pun mulai melempar kata-kata yang didahului oleh Benz terus bergantian: poster, lampu, daster, sepeda, rak, abu, sampan, gunting, topi dan sekolah. Ternyata ini seru sekali terutama kalau sedang kehilangan acuan menulis. Hehehe. Ada yang mau bergabung? Silakan, bermainlah!



Badai Mimpi

lantas, apakah yang kautangkap
dari poster hujan, musim turun
perlahan dan gemuruh makin lantang
suaranya di langit-langit sekolah

mungkin lampu itu menerka kalau
ia sudah jadi kilat, mengedipkan
ruangan yang penuh abu debu dan
gunting telah berserakan di lantai

"daster apakah yang akan kaubuat?"
aku terkecam ketika di dekat dadanya
kau bubuhkan lencana terukir sampan
gagah menerjang badai yang dingin

"aku hendak berlayar dalam tidurku!"
engkau menyahut dan kudengar pula
pecahan ombak di aliran darahmu,
hujan makin bangkit melihatnya

o nahkoda berjuanglah sampai akhir,
sampai koyak topimu dan terhempas
ke dermaga kota pelabuhan yang jauh
terbentang dalam samudera mimpimu

nanti aku akan datang dengan sepeda
untuk menjemput topi kesayanganmu itu,
memajangnya di rak sekolah ini agar kami
turut merasakan gelora mimpi bersamamu


16 November 2008

Labels:

 
Steven menulis pada 09:56 | buka halaman | 0 komentar
Saturday
Perpisahan
seperti telah datang kembali
november yang basah dalam percakapan
sebab terlampau kegelisahan kita
terus menerus terdengar tiada henti

apa pula yang berdenting di halaman:
bukankah adalah langkah-langkah hujan;
adalah isyarat sebuah keberangkatan,
seruan yang menghentikan waktu?

sejenak kita pun tak mendengarnya
ketika langit kian putih merintik
menghanturkan segala perpisahan
mengembalikan segenap airmata


15 November 2008
 
Steven menulis pada 01:50 | buka halaman | 0 komentar
Friday
Kamera
entah apakah, tetapi sejak kanak
kami telah diperkenalkan dengan
benda persegi kecil ini yang ketika
ditekan tombolnya akan menembak
cahaya dan menjadikan sang waktu
linglung dihunusnya sehingga
kami berpeluang untuk meringkus
lalu menjebloskannya ke dalam
kertas kecil yang akan terlupakan
dan kami ingat kembali sambil
berseru: waktu itu, waktu itu...


14 November 2008
 
Steven menulis pada 01:30 | buka halaman | 1 komentar
Monday
Penyair dan Bulan

Penyair dan Bulan
Tinta pada kertas
12.64 x 16.17 cm
2008
 
Steven menulis pada 18:10 | buka halaman | 0 komentar
Mengapa Harus Gelombang?


Mengapa Harus Gelombang?
Tinta pada kertas
6.77 x 5.67 cm
2008

p.s. Ilustrasi untuk puisi Bibirku Bersujud Di Bibirmu karya Hasan Aspahani.
 
Steven menulis pada 18:04 | buka halaman | 0 komentar
Foto
diam-diam ternyata engkau menyimpan
tiga lembar foto di dalam dompetmu:

pertama, berasal dari masa lampau
ketika engkau berhasil menuliskan
puisi pertamamu itu di suatu pagi
setelah menemukan pusaka kata yang
jaraknya ternyata hanya sedekat mimpi
kemudian langsung saja kalian foto
bersama, mungkin tanda persahabatan

foto kedua bisa diterka adalah gambar
wajahmu yang paling baru hingga sering
kaupangling melihatnya: sebenarnya ini
foto atau cermin? lalu seketika kau jadi
teringat foto sebuah cermin berian ibu
agar setiap kali memandang foto engkau
bisa berkaca sambil mengenang ibumu

dan terakhir tentu tentang yang akan
datang tapi di foto itu hanya tertera
tulisan "sangat pribadi dan rahasia"
hingga engkau pun curiga kalau ada
yang hendak mengancam masa depanmu
namun ketika engkau menoleh, sungguh
tak ada seorang pun di tempat itu

foto itu,
di dalamnya engkau hanya seorang diri


10 November 2008
 
Steven menulis pada 00:01 | buka halaman | 0 komentar
Wednesday
Seputih Hujan
mendung telah memberi isyarat
sewaktu langit pun basah kembali
dan perhatikanlah: Orchard Road
mengembangkan payung-payungnya
memandang ke arah angkasa

ketika itu dirimu begitu terganggu
sampai engkau berkesah bahwa
kita hanya mengulang-ulang hari
lalu dengan mudahnya engkau lafalkan
kejadian demi kejadian berikutnya

langit yang deras perlahan
meluapkan ingatan di sore itu;
kuraih pula pena dan menuliskan
patah-patah kata sambil menyangkal
kalau pernah kuciptakan puisi

o rimbun hujan rimbun kenangan
ini musim adalah penghujan
mengutuk kita untuk mencatat
setiap petir getir musim serta
segala yang pedih dan terluka

seperti hendak kauseru kemarau:
malamnya yang sepi tanpa cuaca
kemudian engkau meraih secarik
kertas dan merekatnya di dinding,
membiarkannya menjadi begitu putih

kuindra hujan merintik di dalamnya


05 November 2008
 
Steven menulis pada 23:00 | buka halaman | 2 komentar
Jakarta - Singapura
Oleh Dedy Tri Riyadi
: Steven Kurniawan

Aih, di pelabuhanmu, aku lah
Brian Clarke. Di mana hari-hari
sepanjang trotoar Orchad sudah
dilumat selembut embun

Maafkan bila aku tak bisa membayangkan
seorang Adam bertemu Hawa di sini, Tuan,
sebab rindu telah terlalu ngungun
pada kapal-kapal ini

Sayang memang, kau begitu lekas,
mengemas koper dan ransel,
lalu menelpon seseorang di Jakarta
karena pada basah jalan, ia
ingin mengenang malam yang larut
di cangkir kopimu


2008
 
Steven menulis pada 21:16 | buka halaman | 0 komentar
Tuesday
Arloji
diketuknya arloji itu sebab dia berpikir
tentang sebuah lubang hitam di dalamnya
terus-menerus menghisap segala yang kini

kita hanya tertatap kepada langit
sambil mengira kembali bahwa
sebenarnya waktu sedang berputar


04 November 2008
 
Steven menulis pada 21:12 | buka halaman | 0 komentar
Jarak
setelah akhirnya terbunuh
kuhapus pula darahmu
dari kepalaku

lalu kuintip arloji
waktu menggambarkan pukul
25:00

hari ini terlampau panjang
kupikir ketika bus terus saja melaju
menggaris jarak di antara kita


04 November 2008
 
Steven menulis pada 20:48 | buka halaman | 1 komentar
Kartu Ucapan
hari itu malam pun semakin meresap
pada langit lalu aku bergegas hingga
tiba di kuburmu kira-kira tengah malam

nisanmu masih persis kukenali:
batu persegi dengan ukiran sebuah
puisi cinta yang romantis di atasnya

dengan perlahan kuletakkan
bantal yang kubuat khusus ini
agar tidurmu pun tenang dan nyenyak

tak lupa kusisipkan sebuah kartu manis
bertuliskan ucapan kematian untukmu
semoga panjang umur dan sukses selalu


04 November 2008
 
Steven menulis pada 20:39 | buka halaman | 0 komentar
Monday
Menemukanmu
sudah sekian kali kutemukan
jenazahmu di halaman rumah.
tubuhmu semakin kusam diurai malam
seperti hendak dijadikannya engkau
bayang-bayang yang bergentayang
ke mana bulan akan mengantarmu

siapakah pemilikmu, wahai kekasih?
aku tersentuh ketika kepalamu
malah dijadikan bola dihempas di lapangan
dan matamu pun mulai redup
di seberang jalan dekat petak-petak
bekas permainan kelereng

kini tubuhmu begitu sendirian
dan sekali lagi rubuh di halaman rumahku
hingga menggodaku untuk memelihara beberapa
kanibal handal untuk menyambut kedatanganmu
lalu mengirimmu ke sebuah peristirahatan
yang nyaman bagi daging dan tulang-tulangmu

malam ini malah kudengar kanibalku
ribut sekali bergonggongan dengan anjing-anjing jalanan
yang diam-diam ternyata sudah mengincarmu
dan ingin sekali menyimpanmu dalam perut mereka.
malam semakin dingin dan resah memandangnya
selamat menikmati, kataku mendamaikan


03 November 2008
 
Steven menulis pada 21:03 | buka halaman | 0 komentar