Sunday
Aku, Ide dan Buku
30.07.2006


Buku itu bersitegang di atas
meja. Ya. Aku ingat. Dosenku
pernah memberi wejangan:
Tekun-tekunlah membaca supaya
ide-ide dapat belajar
menemukanmu di tumpukan
suasana hati.

Di buku itulah aku harus
menuliskan ide-ide.
Entah siapa menemukan siapa.
Sebab sejak aku belajar membaca:
hujan, langit, lukisan, puisi,
waktu, hingga diriku sendiri;
hanya keterkejutan saja yang
bertegursapa denganku.
"Hai, dik! Kau tersesat?"

Sekian hari, buku tambah
mendebarkan dan bimbangku makin
lengkap. Entah siapa menanti siapa.
Keadaan malah menjadi rumit jadinya.

Mengapa begitu menakutkan, cemas?
Tak satu pun dari kami yang berani
berkutik: memahami diri.
 
Steven menulis pada 18:39 | buka halaman | 3 komentar
Wednesday
Belajar Melukis
27.07.2006


Di studio seni ini kami
akan mulai belajar melukis:
mewarnai tubuh dengan warna
dan mengerti bahwa sakit
yang meradang ternyata
memiliki graduasi tersendiri.

Silahkan menegok ke jendela
jika sedang bimbang. Di luar
sana bisa kau peroleh warna
menakjubkan untuk melengkapi
luka di tubuh kalian.

Dosen setengah baya itu toh
berbakat sekali. Setiap uban
mengisyaratkan kegigihan.
Senyum begitu mantap
meyakinkan kalau tubuh ini
memang kanvas yang maha rahim.

Segala kuas sudah semakin
berbinar-binar di atas meja.
Kami malah semakin merinding
meningkahi tubuh yang tak mau
diajak kerja sama ini.

Haruslah ini dinikmati,
pesan dosen.

Kami langsung menerjang:
menelanjangi tubuh
masing-masing sambil menyerukan
nyanyian semangat. Luka pun
berceceran memenuhi ruangan.

Malam itu, petugas kebersihan
terkagum hingga tersedu melihat
ruangan itu dipenuhi oleh puisi.
 
Steven menulis pada 20:27 | buka halaman | 4 komentar
Biarkan Aku Mampir
: Hasan Aspahani
25.07.2006



Semangatmu masih membekas:
Siramilah puisi di negeri sana.
Maka aku pun berangkat dengan
terlunta-lunta dan hanya membawa
sedikit kata-kata yang mudah-mudahan
cukup untuk hidup beberapa hari.

Setibanya aku, ternyata tak ada
puisi. Entah aku ini pangling
dengan puisi atau puisi sudah
merasa asing dengan saya.

"Anda, penyair?" Todong sebuah
sajak. Aku langsung merinding
sampai tak mampu menjawab.
"Ah, kami tidak butuh engkau."

Biarlah aku pulang, bang.
Di bawah langitmu: rumah kecil
tempat kita minum teh sambil
melafalkan tingkah senja.

Bolehlah aku menumpang tidur
hingga tanpa sadar liurku sudah
memenuhi ranjang. Kemudian aku
sajikan untukmu sebuah kata: maaf.
 
Steven menulis pada 20:24 | buka halaman | 1 komentar
Tuesday
Anak Kata
: Varentino
24.07.2006


Aku kamu merupakan anak-anak.
Hinggap dari sajak ke sajak.
Berlarian di antara kata
hingga huruf-huruf berhamburan
lalu lupa dari judul mana
kita telah dilahirkan.

Masih ingatkah kau?

Kita anak-anak dibesarkan oleh
rimba kata-kata. Ayo teman!
Kita rapikan huruf-huruf lelah
nan setia menemani bermimpi
sepanjang malam; berceceran
oleh ronta-ronta tubuh kecil
di pelukan sayang ibukata.

Tantangan bertambah dekap
eh, luka yang makin lengkap.

Mari kita panjatkan setulus
puisi kepada Yang Maha Puitis.
 
Steven menulis pada 12:56 | buka halaman | 2 komentar
Ajari Aku Mencari
22.07.2006


Kau berasal dari waktu lalu:
dalam hati yang paling purba.
Kenangan memang kegiatan
seperti minum obat: harus
rutin dan sering. Namun kasih
tak usah dijadikan candu,
katamu.

Aih. Jangan buat bimbang.
Sedari kukecil, ibu sudah
mengingatkan untuk tak lupa
menekuni cinta.

Aku mencari engkau menelusuri
relung yang paling senyap.
Ajari aku untuk menemukanmu
walau dalam rupa kelabu.

Aku ingin memelukmu!
 
Steven menulis pada 12:55 | buka halaman | 0 komentar
Ibupuisi
22.07.2006


Di zaman dimana kata-kata sudah
semakin kompleks. Aku jadi teringat
ketika kecil, ibuku yang adalah
seorang apoteker mengajariku untuk
mengerti berbagai jenis kata
beserta pengaruhnya.

Sebenarnya kita lebih butuh kata
daripada obat, anakku. Ciptakanlah
sebuah dunia kecil agar suatu saat
nanti aku dapat tinggal di dalamnya.

Jangan pergi, ibu. Aku masih begitu
polos dan membaca buku-buku kehidupan
dengan terbata-bata. Ajari aku untuk
meninabobokan sakit-sakitku.

Tiba-tiba suasana menjadi senyap
dan takut-takut kalau pikiran ibu
sudah meningkat bahwa kehidupannya
hanya ingin jadi kata-kata bagi
kesempurnaan puisi saja.

Aku tersedu melihat
sajak yang paling puisi: itu ibu!
 
Steven menulis pada 12:53 | buka halaman | 0 komentar
Friday
catatan sketsa #02
Cermin Masa Kecil
SERINGKALI kita -seorang penulis- tiba-tiba menjadi seorang pengecut jika dihadapkan dengan puisi-puisi yang telah kita tulis pada waktu-waktu dulu. Kita tidak percaya diri dan merasa hanya mempermalukan diri sendiri. Seperti melihat cermin diri sendiri dan ingin berkomentar, “kau tidak sekeren yang dulu aku bayangkan..”

PADAHAL bagaimana pun mereka adalah potret kita dulu: masa kecil yang lugu. Baiklah kalau kita membuka pikiran dan mencoba untuk evaluasi dan intropeksi diri. Pastinya jadi membanggakan, “ini toh si buyung yang masih lucu-lucu dan menggemaskan.”

Labels:

 
Steven menulis pada 16:11 | buka halaman | 1 komentar
Kisah Negeri
20.07.2006


Negeriku,ketika sudah besar nanti
mau jadi apa? Realistis sedikitlah.
Masa cia-cita jadi pahlawan bertopeng
untuk menyenang-senangkan anak kecil.
Lalu mereka pun bersorak: Hore!
Jagoan kita datang bawa permen.

Negeriku, saat perjalananmu dimanakah
angkatanmu? Engkau pusaka. Berduka
jika kita nyanyikan: tempat selalu
menutup mulut dan menutup mata.

Negeriku, waktu semrautmu sudah
berlimpah nanti mau kau apakan?
Mana mungkin sebagai tunjangan
di hari tua sambil kita kumandangkan,
Indonesia: berceceran nasibku.

Negeriku, kau hiburan: renungan
dalam berbagai berita duka.
 
Steven menulis pada 15:45 | buka halaman | 0 komentar
Selamat Minggat, 1
15.07.2006


Kota ini sudah semakin penat.
Kau ingin minggat. Ingin kau
taruh dimana dirimu, sayang?

Jelas saja tak akan
di hatimu. Jangan merindu
sebab hasrat sudah lunglai.
Aku ini milik Ayahku!

Aku terpanjat.

Di laci, foto kita tengah
tertidur dan tak mau tahu...













foto: Steven Kurniawan
 
Steven menulis pada 15:38 | buka halaman | 1 komentar
Teman Merindu
15.07.2006


Aku titipkan puisi padamu
agar dapat kau besarkan
dan kau tanamkan cinta.

Tak usah kau resah.
Nanti seperti sambil
malahap popcorn dan
nonton cinema; kami
sama-sama menikmati:
merindukanmu.
 
Steven menulis pada 15:35 | buka halaman | 0 komentar
Sunday
Polisi Simpang Empat
09.07.2006


Di simpang empat itu berdirilah seorang
polisi yang rajin menekuni lalu lintas.
Hobinya ada-ada saja: mengerjai pengendara
yang sedang asyik meramai-ramaikan jalan.

Kadang-kadang ada pula yang menggodanya.
"Boleh pinjam kostumnya, pak? Saya harus
segera menghadiri rapat penggelapan uang."
Atau ada juga yang sok penting.
"Kumisnya antik sekali, yah! Pinjam donk
untuk latihan uji nyali bagi anak-anak
saya yang akan berangkat ke jalan."

Ketika sudah mulai membosankan, lebih baik
pekerjakan saja polisi-polisian dari batu
yang lebih terjamin kinerjanya.
 
Steven menulis pada 22:59 | buka halaman | 3 komentar
Kantongi saja cinta itu ke dalam saku!
09.07.2006


Terkejutlah engkau ketika cinta sudah
menjelma jadi rindu yang mencarimu...
 
Steven menulis pada 01:16 | buka halaman | 0 komentar
Friday
Panjang Waktu
07.07.2006


Kita memang waktu luang
yang paling setia, hingga
waktu cinta yang paling lusuh.

Mari senyapkan waktu lalu
abadikan sepanjang selalu.
 
Steven menulis pada 23:59 | buka halaman | 0 komentar
Thursday
Gawang Terakhir
06.07.2006


Kesebelasan itu sudah menyewa sebelas
penjaga gawang hanya untuk menjaga
gawangnya yang makin musim makin reyot.

Yah, takut-takut saja karena di zaman
yang sudah semakin ajaib ini para
penyamun sudah semakin lihai dalam
menodong angka. Kadang-kadang bahkan
bisa sampai jatuh korban. Mengerikan.

Hingga seribu satu malam, akhirnya
tersisalah hanya seorang penjaga gawang
yang setia menjaga dan merawat gawang
seperti anaknya sendiri dengan cinta
tanpa pernah menikmati gelinjang
dan ketegangan pertandingan.

Raja penyamun pun akhirnya muncul
menghadap gawang; di tengah kerinduan
malam, dengan sebuah bola di kakinya.

Penjaga gawang gemetaran dan berseru:
Kau muncul juga! Sudah kutunggu hingga
lengkap waktuku. Ini gawangmu!
Biar kutendang bola itu, menggelinding
ke tempat terakhir: reruntuhan gawang.
 
Steven menulis pada 01:34 | buka halaman | 0 komentar
Pertanding Perpisahan
05.07.2006


Pertandingan harus dihentikan sekarang.
Sebab tuan rumah tak mau menanggung
lebih banyak lagi korban: kekecewaan.

"Aku telah dikecewakan bola,"
keluh pemain di tepi lapangan.

"Aku telah kau kecewakan, pemainku,"
sapa seorang penggemarnya.

"Kalau aku malah dikecewakan gawang
yang telah ku pelajari: kuakrabi
selama bertahun-tahun," seru bola
di pelukan lapangan.

Penonton berkesah.
Tiba-tiba kegelisahan memenuhi stadion.

Mari kita kumandangkan bersama:
lagu perpisahan.

Sampai jumpa di kekecewaan yang berikutnya.
 
Steven menulis pada 01:28 | buka halaman | 1 komentar
Tuesday
catatan sketsa #01
Kesepian Penulis
"PERGILAH kau sepi, tapi jangan jauh-jauh." Setelah membaca kalimat ini di situs Arman, maka terlintas dalam pikiran bahwa pentinglah keberadaan sebuah sepi dalam diri seorang penulis. Dengan sepi yang penulis pelihara di dalam dirinya, ia dapat menciptakan sebuah ruang kecil untuk merenungi suatu pemikiran, menetapkan sebuah keberjarakan, menerapkan imajinasi, lalu menulisnya menjadi sebuah puisi.

NAMUN ada kalanya sepi pun pergi terlalu jauh dan akhirnya seorang penulis mengalami sebuah kekosongan: keadaan dimana benaknya terasa penat dan tak ada nafsu sama sekali untuk membirahi puisi. Pada saat inilah seorang penulis merasa begitu nelangsa dan merasakan ketidakberdayaan, seperti ketika ditinggalkan kekasihnya: puisi itu sendiri.

DENGAN hiburan TS Pinang: Kekosongan-kepejalan ini adalah jalan untuk mencapai keseimbangan dan tiada saran lain selain menikmatinya; maka baiklah seorang penulis merenungkannya dan mulai menciptakan rencana-rencana perjalanannya dalam liburan yang menyenangkan ini. Dengan adanya momen-momen seperti ini, janganlah seorang penulis menjadi berhenti untuk menikmati puisi dan akhirnya memelihara trauma yang nikmat-nikmatan saja. Justru penulis harus dapat lebih mengeksplorasi buku-buku tubuh puisi dan mengakrabinya dengan lebih baik lagi.

HAL ini sangat menguntungkan penulis dan menuntut penulis agar menjadi lebih dewasa lagi dalam dunia kepenyairannya. Dengan jiwa yang lebih matang, penulis akan lebih trampil untuk memegang kendali di kegiatan percintaan berikutnya.

Labels:

 
Steven menulis pada 00:46 | buka halaman | 0 komentar
Saturday
Guru Gagah
30.06.2006


Setelah kelulusan menjadi semakin masai,
murid-murid sudah mulai kreatif lagi
hingga memimpikan gurunya yang sudah
semakin tua itu sudah jadi orang tenar.
Padahal ia sudah cukup tenar di hadapan
anak-anaknya sendiri yang suka minta
petuah atau sekedar nasehat singkat.

Akhirnya benar: gurunya memang sedang
diwawancarai oleh seorang wartawan yang
begitu rindu gurunya dan ingin mengenal
lebih dalam seluk beluk seorang guru gagah
yang ternyata juga sudah mendidiknya
menjadi seorang penulis handal.

"Sudahlah.. Aku ini cuma bisa jadi kisah
di dalam hidup kalian.."

Murid-murid hanya tertegun di depan
televisi, mencucurkan air mata
sambil berseru: Hidup Guruku!!
 
Steven menulis pada 00:17 | buka halaman | 1 komentar