Wednesday
Belajar Melukis
27.07.2006


Di studio seni ini kami
akan mulai belajar melukis:
mewarnai tubuh dengan warna
dan mengerti bahwa sakit
yang meradang ternyata
memiliki graduasi tersendiri.

Silahkan menegok ke jendela
jika sedang bimbang. Di luar
sana bisa kau peroleh warna
menakjubkan untuk melengkapi
luka di tubuh kalian.

Dosen setengah baya itu toh
berbakat sekali. Setiap uban
mengisyaratkan kegigihan.
Senyum begitu mantap
meyakinkan kalau tubuh ini
memang kanvas yang maha rahim.

Segala kuas sudah semakin
berbinar-binar di atas meja.
Kami malah semakin merinding
meningkahi tubuh yang tak mau
diajak kerja sama ini.

Haruslah ini dinikmati,
pesan dosen.

Kami langsung menerjang:
menelanjangi tubuh
masing-masing sambil menyerukan
nyanyian semangat. Luka pun
berceceran memenuhi ruangan.

Malam itu, petugas kebersihan
terkagum hingga tersedu melihat
ruangan itu dipenuhi oleh puisi.
 
Steven menulis pada 20:27 | buka halaman |


4 komentar:


  • At 27/7/06 12:05, Anonymous Anonymous

    luwes, luwes. Saya suka dengan keluwesanmu menghadirkan tokoh-tokoh yang jarang hadir dalam puisi lain. Dosen. Petugas kebersihan. Dan tentu saja si aku yang "nakal". Belum beranjak dari tubuh? Tak apa. Itukan juga sebuah kanvas yang mengundang tafsir dan taksir. Apalagi tubuh adalah tempat yang baik untuk sebuah luka. Selamat melukai tubuh sendiri.

     
  • At 29/7/06 00:40, Anonymous Anonymous

    aku merasakan pergerakan dari pantai prosa, menuju genangan puisi yg lebih dalam. meski belum sampai menyelam, masih sedalam lutut, semacam penjajagan kedalaman...

    sebuah upaya yang baik. menjanjikan.

     
  • At 30/7/06 16:50, Blogger bugsy

    gradasi warna
    cmyk
    kuaskuasnya
    dan kanvas usangnya
    bisakah kau lukis
    pelangi serupa
    dengan apa yang ada
    disetiap cinta.

    takzim ku
    pada katakata
    setiap goresan
    yang kau punya.

     
  • At 31/10/08 16:17, Anonymous Anonymous

    good good..... Ok juga sajaknya