27.07.2006
Di studio seni ini kami
akan mulai belajar melukis:
mewarnai tubuh dengan warna
dan mengerti bahwa sakit
yang meradang ternyata
memiliki graduasi tersendiri.
Silahkan menegok ke jendela
jika sedang bimbang. Di luar
sana bisa kau peroleh warna
menakjubkan untuk melengkapi
luka di tubuh kalian.
Dosen setengah baya itu toh
berbakat sekali. Setiap uban
mengisyaratkan kegigihan.
Senyum begitu mantap
meyakinkan kalau tubuh ini
memang kanvas yang maha rahim.
Segala kuas sudah semakin
berbinar-binar di atas meja.
Kami malah semakin merinding
meningkahi tubuh yang tak mau
diajak kerja sama ini.
Haruslah ini dinikmati,
pesan dosen.
Kami langsung menerjang:
menelanjangi tubuh
masing-masing sambil menyerukan
nyanyian semangat. Luka pun
berceceran memenuhi ruangan.
Malam itu, petugas kebersihan
terkagum hingga tersedu melihat
ruangan itu dipenuhi oleh puisi.
luwes, luwes. Saya suka dengan keluwesanmu menghadirkan tokoh-tokoh yang jarang hadir dalam puisi lain. Dosen. Petugas kebersihan. Dan tentu saja si aku yang "nakal". Belum beranjak dari tubuh? Tak apa. Itukan juga sebuah kanvas yang mengundang tafsir dan taksir. Apalagi tubuh adalah tempat yang baik untuk sebuah luka. Selamat melukai tubuh sendiri.