Tuesday
Dalam Komik
untuk Hasan Aspahani

entah mengapa, ketika
ingin ucapkan sayang
tulus dari sanubari
namun hanya terucap
kata-kata tertera di
dalam balon percakapan

entah mengapa, belum
sempat ucapkan sayang
kau sudah terlanjur
membacanya lebih dulu
kata-kata tertera di
dalam balon percakapan


30 Desember 2008
 
Steven menulis pada 01:06 | buka halaman | 0 komentar
Monday
Metamorfosa
malam pun menjelma ketika kita
masih bertahan di sini, pada
sebuah halte tua yang semakin
goyah karena benturan waktu

barangkali kuucapkan pula
kalimat panjang dan kupikir
adalah doa agar paling tidak
jangan tiba lagi tanda tanya

agar jangan lagi kita berduka
sebab pikiran memang mudah
terluka oleh kenangan juga
masa silam yang serba kelam

beberapa saat lagi sudah kita
sempurnakan sandiwara ini
ketika dunia berangsur maya
di bawah purnama kita menanti


29 Desember 2008
 
Steven menulis pada 23:45 | buka halaman | 3 komentar
Sunday
Siapa
untuk Monica Lucius

suatu kali aku pernah menduga tanya
"Tuhan siapa?" saat Dia menemukanku
di sebuah sepi dekat tepian cahaya kota
(kita barangkali memang semakin
sulit untuk ditemui berkat keramaian)

dalam sepi itulah aku berseru kepada
angkasa tapi cuma dikedip-kedipnya
bintang, menepikan segala suara
tapi kemudian ada yang tiba menepukku
"selamat malam, petugas keamanan!"

dengan jubah putih itu Engkau cuma
bilang, "tenang, Aku cuma Tuhan,"
sambil berlalu menjalankan tugasnya
untuk menjaga malam agar tetap tenang
tidurnya, agar tetap menyala redupnya

sejak itulah setiap kali ketakutan
mulai gaduh aku tahu kalau kita punya
Petugas Keamanan paling handal sebab
mataNya yang benderang itu mengatakan
bahwa kantuk tak akan berani mengusik

eh Dia menepukku lagi, "Aku cuma Tuhan!"


28 Desember 2008
 
Steven menulis pada 23:13 | buka halaman | 0 komentar
Kepada Buku Dengan Halaman Terhilang
apa lagi harus kuperbuat agar kudapatkan rahasiaMu?


28 Desember 2008
 
Steven menulis pada 14:19 | buka halaman | 0 komentar
Saturday
Tahun Baru
ketika bunga api terbuka
di atas sengit langit udara
engkau pun tahu bahwa
yang asing sudahlah tiba


27 Desember 2008
 
Steven menulis pada 23:37 | buka halaman | 0 komentar
Halte (Rumah)
barangkali dia membayangkan sebuah
rumah, ya, hanya diinginkannya lekas
sampai ke rumah kecil yang jauh dari
perjalanan agar tak perlu lagi dibuat
bimbang oleh peta (sudah diputar atau
dibalik kelihatannya tetap sama saja)

ditengadahkan kepalanya, malam itu,
"terima kasih halte atas selama ini!"
yang diajak bicara tetap bergeming
dan tetap saja tertunduk (mungkinkah
halte mendongengkannya sesuatu agar
batinnya terus terhibur, teperdaya?

sebetulnya dia tak tahu siapakah
yang dapat dipercaya, sedangkan malam
begitu jahat perangainya) dan dia pun
kembali menunggu tanpa merasa pernah
berkata apa-apa sambil mengingatkan
dirinya kalau dia hanya sendirian

perlahan tampak pula sesuatu dari
ujung jalan, sebuah angka persis dengan
nomor rumahnya; dikiranya itu cuma mimpi
namun tetap saja gagal hingga dia jatuh
lelah terpulas di sebuah halte tak jauh
dari rumah yang dirindukannya itu

"terima kasih penumpang atas selama ini,"


27 Desember 2008
 
Steven menulis pada 00:16 | buka halaman | 0 komentar
Friday
Halte (Dongeng)
"mungkinkah yang kita nanti
sesungguh benar pernah ada?"
engkau berpaling dengan mata
terpejam tanpa sepatah suara
(seketika sepi pun bangkit,
yang terlihat hanya hitam
makin pekat di lintasan ini)

mengapakah terangan kembali
kenangan? padahal kita hanya
ingin singgah ke dalam sebuah
perjalanan yang tentram sambil
mengira kalau masa lalu itu
hanyalah sebagian kecil dari
dongeng yang diperani sendiri

"aku mau jadi Cinderella saja"
(seketika sepi pun terpana
sambil membayangkan seorang
pangeran kehilangan dan
tersekap di sebuah halte bus)
"mungkinkah yang kita nanti
sesungguh benar pernah ada?"


26 Desember 2008
 
Steven menulis pada 00:26 | buka halaman | 2 komentar
Thursday
Petikan Hujan
musim ini hujan bermekaran
di halaman (ada capung juga
kupu-kupu di pucuk-pucuknya)

engkau tergoda memetiknya
sekuncup untuk dibiakkan pada
sebuah pot di dekat jendela

kala senja engkau petik pula
sebuah untuk sekedar cemilan,
dagingnya agak putih kebiruan

malam pun tersipu ketika engkau
petik kembali dawai-dawai hujan
hingga berderai melodi melodi


25 Desember 2008
 
Steven menulis pada 01:42 | buka halaman | 0 komentar
Wednesday
Obituari
barangkali kota ini telah menjadi tua
oleh kenangan ketika Desember tiba
(sekali lagi, sepi menguning lalu
gugur dari langit hijau, mengudara)

menjulang bangunan menatap angkasa
sambil terpejam mengindra setiap
waktu yang tiba di sini, di lintas
kota tempat mimpi-mimpi bermekaran

hanya halte yang tertunduk setia
merasakan engkau duduk di bawahnya
dan menyaksikan helaian kenangan
gemulai diterpa lembut angin musim

ke sanalah ia akan terbang, kepada
sebuah senja yang jingga tersipu
sambil mengintipmu dari belakang
cakrawala kemudian turun perlahan

kepada sebuah petang di mana bus
akan tampak dari ufuk jalan dan
mendapatkanmu di halte itu, dekat
lampu taman yang rimbun oleh cahaya

terdengar pula suatu kicauan sebelum
engkau menghilang ke dalam bus itu
"barangkali seekor malam yang
terbang rendah oleh cahaya kota"


24 Desember 2008
 
Steven menulis pada 01:19 | buka halaman | 0 komentar
Tuesday
Lapar
sayang, cernalah aku ke dalam
lengkung-cekungmu, lumatkan
tubuhku dengan getar-getahmu

kenyalkanlah setiap keratnya!

ia adalah milikmu, cintaku
dan aku terasing di luar sana


23 Desember 2008
 
Steven menulis pada 22:50 | buka halaman | 0 komentar
Thursday
Membaca Puisi Di Stasiun
hari ini ia sudah bertekad untuk
memberanikan diri membaca
sebuah puisi di stasiun kota
yang kerap kali ribut oleh suara
kereta dan jeritan bapak masinis

dimasukkannya sang puisi (bayi
yang masih mungil dan renta)
ke dalam amplop agar terlindung
kalau hujan yang ditulisnya
benar-benar datang menghadang

si penyair pun bergegas ke sebuah
halte dekat rumah, menunggu bus
langganannya yang bunyinya sudah
dihapal dan disuarakan ulang setiap
malam kalau sedang takut kesepian

dengan seksama ia mengawasi amplop
kecil itu sebab siapa tahu ada penculik
besar yang mengincar kekasih kecilnya
itu lalu dijadikan sandra demi kekayaan
"aduh. jangan menakut-takuti dong!"

lama gelisah, perlahan dari ujung jalan
tampak juga akhirnya pak supir
dengan busnya yang jingga bergoyang
dengan santai dan riang ketika dilihatnya
si pelanggan sayang melambai-lambai

"petang nanti saya mau baca puisi,
nonton yah!" tawar si penyair sambil
mengedipkan mata kepada pak supir
kemudian ia duduk di dekat pintu
agar bisa cepat mendarat di tujuan

seperti senja yang tiba, tak terasa bus
sudah tiba di depan stasiun sehingga
mengejutkan si penyair, padahal
belum selesai ia membetulkan seraknya,
menajamkan posturnya: kurus dan kekar

dihadangnya halaman stasiun itu seraya
mengeluarkan sang puisi dari dalam
amplop sebelum dibacakan selantangnya
persis sebuah puisi kecil yang berhasil
diproklamasikan pada tahun 1945 dulu

senja hampir raib ternyata kereta-kereta
bertambah liar sampai tak didengannya
lagi suara si penyair yang terbatuk-batuk
dan ia malah cuma disangka sedang
berpantonim ria dengan secarik kertas

mendadak ada saja yang menepuknya
dari belakang, yang dikira adalah
petugas penertiban ternyata seorang
pejabat pemerintah dan diberikannya
sebuah kartu nama kepada penyair itu

"besok anakku berulangtahun dan saya
ingin menampilkan pertunjukan sulap,
datang yah!" goda si pejabat sambil
mengambil kertas kecil milik si penyair
(bayi yang renta dan bertambah tua)


18 Desember 2008
 
Steven menulis pada 21:36 | buka halaman | 0 komentar
Wednesday
Bus Di Bawah Langit Malam
adakah kita kenali bus yang datang
menjemput segala kehadiran? (malam
semakin panjang sementara kita
lupa bagaimana cara menempuhnya)

sepi pun mereda ketika suara pintu
terdengar, bayang-bayang membeku
dan engkau terima kembali kenangan
itu dengan tangan terbuka, menduka

"siapakah kita?" engkau menduga
sementara kepulangan masih menanti,
menjaga dan menemani perjalanan ini
agar tetap terbentang, agar terus ada

waktu seperti tertunduk di bawah sana,
di antara halte dan bus yang menjadi tua
ketika kita menatapnya dari langit ini,
di antara bintang dan desau mendung

"apakah kita?" engkau meragu, "hingga
bus itu pun barangkali menginginkan
kita, menghendaki yang tak tergapai!"
padahal malam sudah semakin luas

barangkali semakin buas seakan
dipandangnya segala dengan rasa lapar
sementara pintu bus masih terbuka
menanti yang hendak berpulang


17 Desember 2008
 
Steven menulis pada 01:58 | buka halaman | 2 komentar
25 Desember
sewaktu kecil, engkau digendong ayahmu
untuk meletakkan tokoh kecil bersayap
di pucuk pohon natal ini dan ia berpesan
kalau malaikat itu akan mengabulkan
beragam permintaanmu suatu kelak nanti

engkau jadi sering tersenyum sendiri
setiap kali teringat akan mahluk kecil
penjaga pohon itu sambil membayangkan
hadiah yang akan dilepasnya dari atas
kemudian berindang dekat kaki pohon

lama memandangnya, engkau mulai ragu
dan berpikir kalau mahluk gaib itu sebetulnya
adalah penjahat kecil yang mengintai gerak
gerikmu setiap hari sambil menikmati
buah terlarang yang tumbuh di pohon itu

ketika engkau dewasa, kurcaci itu pun
tampak semakin tua dan putih janggutnya
memanjang ke atas jubah yang ia buat
saat tergoda melihat engkau begitu gagah
dengan seragam sekolah merah-putih

diam-diam engkau jadi ingin membunuhnya
sebelum ia menyihir kereta mainanmu dulu
menjadi sebuah kendaraan pribadi dengan
rusa-rusa yang membawanya ke sana ke mari
untuk menculik kanak-kanak, selagi lugu

pohon kenangan itu akhirnya engkau tebang
dan si iblis tua tentu tak terhindar lagi
dari kutukan Tuhan sehingga ia diasingkan
ke kutub dan hanya mendapatkan satu hari
setiap tahunnya untuk sejenak bertamasya


17 Desember 2008
 
Steven menulis pada 00:55 | buka halaman | 0 komentar
Monday
Selamat Natal
kita bisa merayakannya
tanpa perlu mengenal Tuhan,

bukan?


15 Desember 2008
 
Steven menulis pada 22:55 | buka halaman | 0 komentar
Sajak Payung dan Matahari
kembali kami di sini
mengulang-ulang cuaca

rupanya engkau seakan
menyaksikannya


15 Desember 2008
 
Steven menulis pada 22:47 | buka halaman | 0 komentar
Thursday
Di Sebuah Halte Bus
: Sapardi Djoko Damono

malam itu engkau pun mampir
ke sebuah halte bus untuk
menyaksikan setiap perhentian,
menikmati setiap ucap yang
tertahan sebelum hilang tak
teralamatkan pada waktunya

engkau sangka pula barangkali
adalah sebuah puisi yang
membawamu ke mari, genting
yang menadah setiap pertemuan
ketika kautemukan seekor
anjing kampung di seberang sana

hinggap di ujung malam sambil
mengitari rekata kemudian
hendak kencing di sudutnya
sehingga engkau tergoda untuk
menangkapnya sebelum anjing
itu terbang ke balik pagar

sebelum ada gadis kecil yang
menyapamu, "itu capung!"


11 Desember 2008
 
Steven menulis pada 00:49 | buka halaman | 2 komentar
Monday
Desember
: Pinpin Hanna

mungkinkah desember yang tiba telah
lupa menyelesaikan musim panjang ini
(langit mendung menggoda sang surya,
matahari kita juga) ketika hujan terus
membasahi kita dengan perpisahan?

kuseka kembali sepi dari pandangan,
kupilin garis-garisnya yang putih
hampir mengeras dan menangkal setiap
percakapan sementara tak henti jua
kita menghardik cuaca-cuaca jahat

"kalender hampir habis," bisikmu,
aku pun menerka-terka tentang
sebuah akhir atau sebetulnya inilah
mula segala lupa itu agar kita kembali
merasa terasing dari pertemuan

kuburlah kalender ini, timbunlah ia
dalam deras suara hujan dan jauh
jauh dari antara genangan kenangan
sehingga segalanya dapat diawalkan
dan diselesaikan kembali, terulang

dan mengulang


08 Desember 2008
 
Steven menulis pada 23:42 | buka halaman | 0 komentar
Variasi Pada Suatu Hujan
pernahkah kaubayangkan sebuah hujan
yang keluar dari langit adalah suara
suara angkasa hingga engkau menatapnya
meneguknya dalam-dalam sampai luput
sudah waktu tak mendapatkannya?

tapi rintiknya tak pernah menjadi bagian
dari dirimu dan tidak pula riciknya akan
tepercik dalam jiwamu itu, o betapa lupa

dengarkanlah


08 Desember 2008
 
Steven menulis pada 14:18 | buka halaman | 0 komentar
Saturday
Di Kala Hujan
ada pun hujan yang merapat ke bumi
memecahkan udara (goyangan angin
dan juga hirup hembus nafas) hingga
mekarlah segala kelopak payung

menangkapnya

betapa kian, engkau pun tersenyum
(lengkung cuaca yang tak teterjemah)
sambil menjentikan jari, menghitung,
mengekalkan segala kesepian kita


06 Desember 2008
 
Steven menulis pada 23:26 | buka halaman | 0 komentar
Thursday
Come Home

Come Home
Ink on recycled paper
28 cm x 21.5 cm
2008

 
Steven menulis pada 23:12 | buka halaman | 0 komentar
Monday
Bermain Sketsa #05
Malaikat Natal
Beberapa hari lalu, temanku Mike tiba-tiba memintaku menemaninya menulis. Entah, mungkin dia merasa asing dengan kata. Kemudian kita sepakat mempersatukan kata-kata berikut ini ke dalam sebuah tulisan. Kami menyebutnya beriringan yang diawali oleh Mike: kertas, kaca, kelapa, mesin, sujud, telepon, tugas, jam, lakban, gitar. Tampaknya kami memang dari latarbelakang yang berbeda. Dia itu insinyur. Kalau saya? Kalian boleh pikirkan apa saja. Baiklah, ini puisinya walau aku gagal mengajak kata 'kelapa' ke dalamnya:


Malaikat Natal

adakah yang lebih gaib dari sebuah
telepon genggam: malaikat kecil
yang dapat bersabda tentang kenangan
dan masa depan secara sederhana?

matakacanya terus saja berpijarkedip
sambil berdetik jam atas binarnya
hingga kita mengerti kalau waktu
tengah berhembus dalam jantungnya

pada tubuhnya terukir pengetahuan:
angka dua yang terus bersujud
menghadap yang Esa sehingga ke
sanalah segala huruf diawalkan

setiap malam dia sering memainkan
suara gitar sambil bertugas mengawas
datangnya pesan rahasia yang tak
pernah berhasil diterjemahkan kertas

entah ulah atau tulah kalau setiap
akhir tahun mesinnya berdering dan
dari matanya yang sudah kulakban
ketat masih juga terbaca sebuah pesan

"Selamat natal,
jangan-jangan engkau cuma pohon natal."


01 Desember 2008

Labels:

 
Steven menulis pada 23:55 | buka halaman | 0 komentar