05.08.2006
Di busstop ini kita menanti bus:
kendaraan paling nyaman di kala
gerimis. Bus yang rajin terlambat
dan goyangannya pun tak asing lagi.
Sambil menangis kau menemani
langit mengucurkan airmata.
Aku belum lagi mengatakan kepadamu
bahwa setiap pertemuan merencanakan
sebuah rindu. Kau semakin terisak.
"Marilah kita menangis.."
Menunggu: bus langganan kita belum
juga tiba. Aku bilang ini harapan.
Tapi tiba-tiba kau berbisik kalau
cemas sulit diajak berdamai.
Ketika bus tiba, sepi mendadak gaduh.
Aku khawatir karena kadang-kadang
gundah mengisyaratkan sesuatu.
Matamu terpejam dan engkau selami
hati yang dalam bagai malam.
Hatimu: rumah rindu.
"Malam ini kita hendak ke mana?"
"Aku ingin ke rumah gerimis..!"
"Penasarankah engkau dengan ia
yang selalu setia menemani kita?"
Bus bergegas:
menelusuri malam hingga larut.
Aku gelisah menanggapi perpisahan.
Soal beberapa salah ejaan dasar ya kamu latih saja sendiri. Beserta bukan berserta, ini satu contohnya. Menunggu bukan manunggu. Tapi selebihnya, ini saya kira langkah baru bagi seorang Steven - kalau boleh malah saya ingin menyebut ini pencapaian baru. Sajak ini lebih santai melangkahnya tapi lompatannya luar biasa. Liris dan ah dewasa sekali sikap si aku dalam puisi ini. Peristiwa menunggu bis itu dimainkan ditabrakkan ke sana kemari dengan usil dan karena itu menghasilkan sebuah sajak yang segar - HAH.