Thursday
Pesan Terakhir
29.12.2005


Hari itu, aku berpapasan dengannya.
Mungkin benar, itu dia: gadis kecil
yang perawakannya sedikit culun.
Tapi dia tentu tidak menyadarinya
berkat gangguan mental yang sudah
ditekuninya sejak lahir.

Kini gadis itu pun sudah terlelap
di tengah jalan. Sehingga ada yang
berseru, "Lihat, akhirnya ia tewas
juga." "Bukan! Ia pasti pura-pura
mati untuk memperdaya kita," kata
yang lain. Seorang bingung dan ada
juga yang menangis: ibunya sendiri!
Ternyata baru ia sadari bahwa angan
dan kenangan kadang-kadang memang
cukup akrab.

Di pemakaman, aku dan teman-temanku
ikut hadir sebagai orang-orang kenalannya.
Sial. Di sana, kami hanya disuguhi
bingkisan airmata.
Dan pengunjung lainnya hanya turut
berduka cita: menciptakan suasana
yang mendukung untuk kesedihan.

Aku sampai lupa menyampaikan pesan
terakhir gadis itu. Tiba-tiba ibunya
menghampiri. "Ah, kau ini. Anakku cuma
iseng saja ingin mengerjaimu."
 
Steven menulis pada 18:50 | buka halaman | 0 komentar
Sunday
Permenungan
25.12.2005


Dirimu egois, tak berikan
kesempatan kesukaan:
menghiburmu. Ingat, kau
tak bisa melarangku untuk
berdoa: kasih yang sempurna.

Kau muram semalam suntuk.
Malah kadang terdengar juga
jeritan-jeritan, apalagi
tangisan yang suka merasa
sok penting dan selalu ikut
ambil bagian. Aku terpana.

Akhirnya aku menantikan
dirimu dalam sebuah senyuman
manis. Mungkin di hari natal,
bahkan valentine yang hangat.

Padahal cinta hanya berkisar
antara ada dan tiada. Namun
memang tak pernah kau temukan
pengertian atas sebuah tulisan.

Dan Tuhan gelisah saja di saban
waktu. Dirimu egois, tak berikan
kesempatan kesukaan: menghiburmu.
Ingat, kau itu begitu tersayang.
Sehingga kami mulai berdebat:
Siapa yang berani menemanimu?
 
Steven menulis pada 18:11 | buka halaman | 0 komentar
Celana
04.12.2005


Bila ditanya tentang kenangan
masa kecil, tentulah yang paling
kami ingat adalah celana.
Sebab memang celanalah tempat
dimana kami merawat dan
memelihara yang begitu khusyuk
bernaung di dalamnya.

Kalau masa bayi?
Ya sudah pasti, celana juga jawabnya.
Celana yang perangainya untuk
menampung ompol,
dan kami sebut itu popok:
perawat yang canggih modelnya.

Setelah tumbuh dewasa, ternyata
kami pun sudah tidak dapat mengenali
lagi apa yang telah gigih kami rawat
dan pelihara sejak masih kecil dulu.

Sehingga masing-masing
hanya dapat bertanya-tanya:
apakah yang dapat menampung malu?
 
Steven menulis pada 18:47 | buka halaman | 0 komentar
Thursday
Biar
2005


Kristal matamu berlinang, terdiam.
Senyummu milik kepedihan.
Sekejap, gelakmu mengusir ketegangan.

Kau hanya membuatku khawatirkan
pikiranmu yang bukan-bukan.

Biar kata-kata tersingkap.
Tak usah berpikiran...
Puaskan aku dengan kecemasanmu.
 
Steven menulis pada 19:08 | buka halaman | 0 komentar
Malam Pertemuan
03.10.2005


Aku lelah sekali pada pertemuan malam ini.
Kau bete sekali: duduk sambil mencorat-coret
sepi. Bingung, trauma mana yang akan kau
lilitkan pada tubuhmu.

Aku terpana, menyaksikan rintihan sepi.
"Poles aku dengan kecantikan!" Kau makin
buas dengan warna-warni duka dan rindu.
Senandung pilu diam-diam menyelinap:
Biar kupetik airmatamu yang ranum!

Sekejap saja, kau tuntaskan malam
ke dalam senyap. Mengerjap. Gelagatmu
begitu naif, tanpa memberiku kesempatan
tuk mengagumimu. Mari, biar kubalutkan
sebuah senyum.Ceriamu menyenangkan,
bukan?! Pagi datang terkantuk-kantuk...
 
Steven menulis pada 19:03 | buka halaman | 1 komentar
Pembuat Boneka
2005


Konon ada seorang penyair eksentrik mengaku
bahwa dirinya itu adalah pembuat boneka.
Eh, benar saja. Toh, setelah beribu-ribu tahun
ia berhasil juga membuat boneka sajak yang
penampakannya, paling tidak, cukup untuk
menakut-takuti dirinya sendiri.

Berdasarkan desas-desus yang ada, ternyata
ia hanya tinggal seorang diri saja. Di sebuah
pondok di mana pelangi biasa duduk dan
menemani penyair itu bercakap-cakap sambil
merapikan hujan.

Penyair begitu tekun merawat cita-citanya:
menciptakan boneka lucu dan menggemaskan.
Kalau perlu, ia juga akan membuat sebuah
teddy bear untuk menemani boneka menakutkan.
Sebab boneka itu sering terlihat cemberut dan
kadang-kadang suka menjerit-jerit sendiri.

Kini, penyair itu akhirnya wafat juga. Padahal
belum sempat juga ia wujudkan cita-citanya.
Jiwanya pun menjelma menjadi kupu-kupu malam:
ungkapan semangat yang masih belum.

Pelangi begitu cemerlang walau sangat pedih
hatinya. Boneka menakutkan berangsur lebur,
meratapi nasib penyairnya itu. Sedikit saja,
pelangi membagikan warna-warninya agar
kupu-kupu dapat menghibur gadis kecil yang
tak bisa tidur di tengah kegaduhan malam:
rintihan boneka sialan ciptaannya itu!!
 
Steven menulis pada 18:49 | buka halaman | 0 komentar
Selamat Pagi!
2005


Pagi ini ternyata pagi tidak datang.
Barangkali tersesat, soalnya belakangan
banyak bintang baru mangkal: cari angin.

Cakrawala pun dimainkan mendung.
Langit jadi biru. Apalagi aku...
Pagi tidak mampir lewat jendela.

Malam ini ternyata masih malam.
Malam. Malam temaram belum selesai...

Suatu saat nanti akan kusangkarkan pagi
untukmu. Mudah-mudahan kau pelihara
dengan baik.

Pagi terindah:
kristal angan yang terbit kembali.
 
Steven menulis pada 18:47 | buka halaman | 0 komentar
Hiasan Kusen
11.09.2005


Hiasan kusen sudah tanggal.
Angin terasa begitu lekas
tanpa sempat terbaca olehku.

Aku pun tidak lagi mengeja,
belum berhasil memilah
suaranya yang sunyi.

Memori jadi derita dengan manis
Kenangan belum akan dilupakan.

Bayangan hiasan kusen
melambai: merayu.
"Hai, tarianku belum selesai!"
 
Steven menulis pada 18:45 | buka halaman | 0 komentar
Rembulan di Atas Bukit
2005


Ketika rembulan bercerita di atas bukit.
Seekor rusa terbaring lelah,
melenguh uh, mendesah ah,
sambil menikmati dirinya disantap harimau.
"Bangsat benar kau!"

Rumpu-rumput pun menonton, menyaksikan
sahabatnya yang culun itu mandi darah.
"Sekali-sekali begitu dong... Kan seru."

Sebuah bintang lepas sambil mendengar
pria kelaparan. Simpel saja pintanya:
aku mau nasi bungkus..

Harimau kini duduk membanggakan rasa
kenyang dan kemenangannya, memandang
rerumputan yang mulai terkikis oleh
musim, juga seorang lagi yang sedang
asik dengan nasi bungkusnya.

"Hari sudah larut, nak…
Pertemuan selanjutnya
memang sudah jatahnya malam.
Ketika rembulan bercerita di atas bukit."
 
Steven menulis pada 18:44 | buka halaman | 0 komentar
Ibu
2005


Saat malam cemerlang dan langit tak perlu ditemani,
ibubulan akan turun sejenak menemani anak-anaknya.
Ibubulan begitu sabar, lagi pandai mendongeng:
pengantar sebelum akan berangkat ke ranjang mimpi.

Gadis kecil begitu sedih hatinya. ia celingak-celinguk
mencari ibunya setiap malam. Ibu yang sudah lama
pergi dan tak pernah pulang. Konon, katanya, ibunya
sudah berada di tempat ibubulan: rumah kedamaian.

Ibubulan terharu sekali. Ditimangnya gadis itu dengan
lembut. "Ah, ibubulan tidak seperti ibu: melahirkan
kecantikan. Aku senang sekali terpulas di dada ibu.
Tempat paling hangat dan nyaman walau kecut baunya."

Suatu saat nanti, gadis akan menemukan ibunya
di antara angan, di tengah keharibaan malam.
 
Steven menulis pada 18:43 | buka halaman | 0 komentar
Elegi
2005


Gadis kecil duduk di kursi,
di taman yang tenang.
Sunyi... Ditemani sepi.

Gadis jadi murka,
dicekik-cekiknya sepi.
"Kau slalu saja di sisiku
kalau aku sedang sendiri.
Nggak ada kerjaan lain, apa?!"

Sepi pun diam saja, tak ingin
mengusik kesenangan gadisnya.
Kemudian sepi diam-diam
pergi mampus tanpa pamit.

Gadis jadi begitu sedih,
dihiasi penyesalan.
Sekarang tidak ada lagi yang
menemaninya duduk di taman.

Tiba-tiba hantu sepi muncul,
menggoda gadisnya yang sendirian.
"Sayang, mari ikut mampus bersamaku…"
 
Steven menulis pada 18:43 | buka halaman | 0 komentar
Nostalgia
2005


berkencan bersama kenangan
bercerita kepada waktu
mari kita pulang dengan derita
 
Steven menulis pada 18:33 | buka halaman | 0 komentar
Diari
2005


Kau suka sekali dengan buku, bahkan melebihi
cintamu pada diri sendiri. Setiap malam, kau begitu
rajin membacanya, namun kadang kau malas
sekali. Sehingga kau hanya menulis kisahmu
sendiri: temani aku di ranjang kepedihan.

Aku sering juga mendengar diarimu bercerita.
Ia mengaku akrab sekali denganmu. Suatu saat
nanti, diari bercita-cita untuk menulis buku-buku dirimu,
merangkai sakitmu dalam sebuah puisi
sambil berkaca-kaca. Seru sekali!

Hari itu, aku terkagum melihat diarimu tercetak
sebagai best seller, hampir sold out. Tentunya
aku langsung membelinya, tak mau kehabisan
si manis: buku yang tidak butuh pengarang.

Tak kusangka,
ternyata aku tak sanggup membacanya.
Maukah kau bacakan untukku?
Aku ingin terharu dengan mantap…

Ah, dasar..!
Diari rombeng yang mengingatkanku tentang dirimu.
 
Steven menulis pada 18:32 | buka halaman | 0 komentar
Dunia Kata-Kata
: Linyani
26.11.2005


Sebab kata-kata sudah selesai,
lalu kita kumpulkan semuanya
dalam sebuah permenungan kecil:
tempat dilahirkannya kembali
cinta dan kasih sayang.

Kata-kata begitu menyenangkan.
Senyuman hangat, iman yang buas,
segalanya sudah begitu lengkap.
Namun kata-kata memang
belum fasih dalam membedakan
force dan comfort, artinya
hanya kanak-kanak yang mengerti.

Kata-kata cerdas, merangkum diksi
dan imaji. Merangkai dunia dan ruang
menjadi sebuah surga kecil: sumber
kehangatan. Aku mau saja tinggal
di sana supaya dapat kucelupkan
hatiku ke dalam sukakata.

Ibukata akrab sekali dengan kata-kata.
Hingga kata-kata sudah dewasa nanti,
ia harus menentukan jalannya sendiri
untuk mengembangbiakan makna dan
membawa berkat dalam hidup.
 
Steven menulis pada 18:31 | buka halaman | 0 komentar
Pasien Bartender
2005


Sekarang aku sedang santai duduk di bar ini.
Menunggu bartender sedang meracik racun.
Mudah-mudahan racun yang ada di hatiku bisa
kuracuni.

Di sini panas sekali, hanya ada kipas di
langit-langit. Pikiranku jadi tertiup-tiup,
penat pun jadi takut mental.
Lalu mereka berlindung di pikiranku
sambil menawarkan diri:
"Bolehkah kami temani untuk berpikir?"

"Hei, lama sekali pesananku siap?!"
"Hm... Mau rasa apa ya..?"
 
Steven menulis pada 18:28 | buka halaman | 0 komentar
Biru
2005


Pagi ini tidak biru, tapi langit slalu begitu.
Aku tak tau: apa kalau tidak biru? Sebab,
aku ingin mengganti hari-hariku yang
biasanya merona seperti itu.

Aku mau jalan-jalan saja hari ini.
Melihat warna. Belajar warna.
Baju jangan biru. Celana boleh biru.
Katok tak apalah, asal enak dipakainya.

Siang itu, aku terlelah dan duduk di taman.
Tak disangka, aku bertemu dengan kawan lama.

"Hai, lama sekali tak jumpa! Ha ha ha...
Aku jadi terkenang dirimu dengan celana biru kuyup,
terkena ompol yang baunya pun aku sudah lupa."

"Norak amat lu..!
Gitu aja pake diketawain segala."

Biru…
Menyenangkan, barangkali mengharukan.
Mengingatnya, aku bangga juga punya
kenangan bersama celana kesayanganku itu.
 
Steven menulis pada 18:25 | buka halaman | 0 komentar
Hujan
2005


Udara dingin sekali, hujan belum rampung juga,
dan malam rupanya masih ingin ditemani.

Aku sedang mandi saat itu.
Aku sampai mengigil tak keruan.
"Hu..! Baru gitu aja udah kedinginan,"
ejek gemercik air di kamar mandi.

"Kau berani, ya? Ayo, duel!"
"Alah, mandi juga kau belum becus.
Cepat sana, sebelum kau kudera habis!"
Aku pun mandi dengan terbirit-birit.

Selesai mandi, aku keluar dengan perasaan janggal.
"Sudah dinakali mandi, dinakali celana pula,"
kau tersenyum.
Oh, ternyata celanaku terbalik dipakainya.

"Wah, hujan ya?"
"Kenapa sih lu sensitif sekali sama hujan?"
"Gue udah lama nggak mandi hujan, tahu!"
Sergahku sambil membetulkan celana.

Kau tiba-tiba menantang. "Lihat saja nanti,
kau dan hujan akan kupotret buat kenang-kenangan:
Anak jalanan tengah dinakali hujan."

Tiba-tiba aku ingin tertawa,
menertawai diri sendiri yang begitu lucu.
 
Steven menulis pada 18:22 | buka halaman | 0 komentar
Terpaut Roman
2005


Sebentar lagi hujan
setelah kemarau lama pasang.
Puisiku jadi melonjak-lonjak girang,
ingin mandi hujan: biar romantis.

Aku mengiakan saja, mumpung udara
masih sejuk dan hati sedang tenang.
Lagipula puisiku memang jarang
terlihat romantis. Payah, kan?!

Gerimis mulai gugur.
Puisiku langsung saja berhambur ke luar.
"Hei penyair! Ikut yuk, biar romantis!"

Kita terus main bersama.
Terbuai suasana.
Aku jadi lupa diri.
Mungkin juga tak tahu diri.
 
Steven menulis pada 18:21 | buka halaman | 0 komentar
Rintik Hujan
2005


Aku sedang duduk di jendela,
memandang langit siang yang mendung.
"Ha... Tenangnya selagi mendung.
Aku jadi bisa menulis sajak.
Awas kau, sampai hujan!!
Nih, gue kasih senyum yang paling jelek!"

Hujan sudah mau lepas, tapi rintik tak mau ikut.
Ia hanya mengintip-intip dari balik awan.
"Malas ah, lihat saja: pria di jendela
dengan senyum jeleknya itu. Memuakkan!"

Langit pun bergeming,
memajang mendung sampai larut.
Fotoku masih terpajang di jendela,
memandang langit yang senja.
 
Steven menulis pada 18:20 | buka halaman | 0 komentar
Pada Sebuah Senja
2005


Aku dan kawanku duduk-duduk di teras,
masing-masing asik membaca buku.

"Hai, kau sedang apa?"
"Barangkali sedang mimpi."

"Langit sebentar lagi tampaknya sudah
mau meneteskan hujan."
"Rasain lu! Menginap saja di sini.
Gudang baruku sudah jadi rupanya.
Begitu tenang, begitu tentram.
Sekalian kau dapat berlatih sabar:
berdamai dengan cericit tikus
seringainya begitu romantis
di sepanjang kesenyapan malam."

"Lugu amat lu! Aku mau pulang saja.
Sampai jumpa, bajingan!"
"Aku pasti kangen. Mampirlah lagi!"

Kau langsung melengos pergi,
sesekali kuyup oleh gerimis senja.
 
Steven menulis pada 18:20 | buka halaman | 0 komentar
Rumah Jiwa
2005


Lelahnya, sehabis perjalanan yang tersesat.
Aku jadi lama tak pulang ke rumah,
sampai-sampai rumahku dihiasi memo.
"Silahkan singgah, bagi yang gila seperti pemiliknya."
Haha, ternyata masih ada yang ingat padaku.

Pintunya memang sengaja tidak berkunci,
supaya orang bisa bersahabat dengan rumahku.
Aku langsung saja masuk, sambil merapikan capek
yang terus mengerjaiku di perjalanan.

Interior rumahku rupanya masih baik terawat.
Foto-fotoku pun masih terpasang keren di dinding.
Aku jadi bangga kalau rumah sudah dewasa,
bisa merawat diri.

Setelah berkeliling,
aku temukan sebingkai foto gadis: manis, juga lembut
dengan senyum renyahnya (tidak terlihat gila, kok!).

Lalu kudapatkan juga secarik kertas bertuliskan:
Sayang... Kalau ada yang ingin dirapikan,
panggil saja yaa..!

Tubuhku sedang berantakan, sayang...
 
Steven menulis pada 18:19 | buka halaman | 0 komentar
Berpuisi
: Janni
03.08.2005


Katamu mataku berbicara.
Aku jadi ingin berbincang-bincang
dengan bahasa matamu.

Sekarang mataku sakit bisu,
mana bisa kupakai, coba?
Jadi kupajang saja di meja
dimana sajak biasa terukir.

Aku mau bicara dengan kata-kata.
 
Steven menulis pada 18:17 | buka halaman | 0 komentar
Sela
06.11.2005


Bilamana matakata tak lagi mencari makna,
maka matawaktu akan terlelap: mengenangmu..
 
Steven menulis pada 18:15 | buka halaman | 0 komentar
Bejat Malam
2005


Malam ini terasa berbeda
karena akhirnya aku dapat duduk bersama
malam dan tentunya kamu juga ikut.

"Kau bilang akan memberi kejutan padaku?"

"Baiklah, pejamkan matamu.
Akan kuberikan kau sebuah rindu...”

Setelah sesaat, aku tersadar.
Bayanganmu sudah kabur bersama malam.

Aku terdiam. Terharu.
 
Steven menulis pada 18:13 | buka halaman | 0 komentar
Kekasihku
13.11.2005


Malam sedang mampir di sebuah kafe.
Seperti biasa, suasananya sangat romantis.
Kau duduk sendiri di meja itu, sambil
menimbang-nimbang secawan anggur
dengan kualitas terbaik: kangen dan rindu.
Meneguknya pun, sekejap saja kau meringis.

Malam begitu tersentuh. Dipungutnya
sebuah bintang yang tergeletak di langit,
diantara hamparan mimpi dan kenangan,
lalu dihadiahkannya kepadamu.

"Pakailah.
Kecantikanmu abadi, dukamu kekal.
Sekarang tidurlah, kekasihku...”

Piano melantunkan jazz.
Sendu... Kau menangis.
Airmatamu berbuncah-buncah jatuh
ke cawan lain.

"Silahkan... Yang ini namanya
anggur kepedihan, tak kalah nikmat
dibanding anggurku," kau tersenyum.

Aku tersiksa saja,
mudah tersentuh perasaanmu.
 
Steven menulis pada 18:12 | buka halaman | 0 komentar
Lukisan Senja
2005


Petang ini aku menyaksikanmu
melukis sebuah senja pada kanvas.
"Boleh donk, aku pinjam tubuhmu yang antik,
biar bisa kuawetkan senja dengan sederhana."
Kanvas diam saja kemudian tersenyum,
malu-malu, melihatmu: melukis senja
sambil bercakap-cakap mesra.

Senja sudah mulai ngantuk, ia pun
meninggalkan penggemarnya itu,
meninggalkanmu yang terkagum-kagum
pada senyuman senja.

"Kok sudah mau pulang?
Habiskan dulu sisa minumanmu, sambil
kaurampungkan sisa senyum hangatmu.
Lain waktu, pasti kusuguhkan embun pagi
kesukaanmu. Sesekali juga airmata
yang lebih rintih daripada sekedar tangisan."

Lukisan senja sudah cantik sekarang.
Ia bahagia sekali karna akhirnya kau
pajang juga dirinya di kamarmu.
Dan dirimu hanya terpaku, menerka-nerka
rupa senja yang kapan mampir di ufuk hati.
 
Steven menulis pada 18:09 | buka halaman | 0 komentar
Menangis, 1
2005


Waktu kecil, ibuku sering berkata:
Laki-laki jangan cengeng ya..!
Waktu kecil, aku angguk-angguk saja
kalau ibu bilang begitu. Lalu aku tersenyum,
pura-pura, biar ibu senang. Ibu pun tersenyum,
walau aku bohongi. Diam-diam aku jadi
berpikir, jangan-jangan ibu sedang
mencoba menyembunyikan keberadaan realita
dari kesadaranku.

Sekarang, aku kadang-kadang suka menangis juga.
Biar sakit-sakit bisa keluar,
senyum juga tidak pura pura lagi.

Tapi menangis itu susah banget lho!
Apalagi waktu kecil dulu, aku jarang latihan.
Ibu cuma mengajarkanku tabah dalam sakit.
Padahal biasa orang mati karena sakit.
Mereka harusnya coba menangis, biar sembuh!

Akhirnya aku gigih untuk belajar menangis.
Menangis pun jadi lebih baik dan lancar.
Kasih, aku ingin menangis bersamamu
dalam sebuah kencan yang sederhana.
 
Steven menulis pada 18:07 | buka halaman | 0 komentar
Kapel Hujan
2005


Hujan akhirnya hujan.
Kau tersenyum, menggodaku.
Sesaat lagi, kau langsung berlari ke dalam hujan.
"Ayo kerjar aku!
Nanti sudah tidak hujan lagi lho!"

Aku pun mengejarmu perlahan,
supaya hujan tetap teratur jatuhnya.
"Hei, tunggu sebentar!
Lagipula hujan masih begitu lugu!"

Kau hanya tertawa kecil,
sambil berlari ke tempat biasa: kapel hujan.
Kita akan berdoa bersama sambil hujan.
Bisa saja aku hanya bersyukur,
dan menikmati hujan yang makin dewasa.
 
Steven menulis pada 18:06 | buka halaman | 0 komentar
Minum
2005


Kencan akan segera berakhir dengan sebuah perjamuan. Percakapan kali ini tenyata hanya menyisakan kata-kata tak tercerna,
kata-kata tak terucap: cinta yang tersiksa.

Lalu kita siapankan sulangan terakhir.

"Minuman ini adalah pemuas,
supaya kau tidak dipermainkan lagi oleh cinta.
Mudah-mudahan kau lebih suka minum daripada aku."

"Teguklah aku! Aku akan tinggal dalam tubuhmu.
Habis, kau seperti tersiksa sekali oleh rindu.
Globok sekali."

"Gombal, ah."

Melodi menyanyikan Jamie Cullum:
watch me forget about missing you..
 
Steven menulis pada 18:03 | buka halaman | 0 komentar
Cerita Cinta
13.10.2005


Cinta sekarang mulai mencari cerita.
Supaya cinta bisa tersipu sendiri,
ketika mendengarkan cerita tentang
dirinya sendiri yang sok romantis.

Cerita sekarang sedang malas soal cinta.
Masalahnya, cinta pandai sekali mengoda.
Cerita juga bisa jadi capek sendiri,
kalau cinta sudah betul-betul manja.

Akhirnya,
sandiwara lebih memilih dihentikan saja.
 
Steven menulis pada 17:59 | buka halaman | 0 komentar